bismillahirrohmanirrohiim...
misi..misi..misi.. sambil tatsqif sambil sharing hasil kajian bersama @ajobendri, terkhusus buat adek-adek comel yang katanya pengen segera mengenapkan agama..dan buat kakak-kakak yang sudah membuat list undangan, padahal belum ketemu calonnya #eh smoga dilancarkan dan diberkahi..aamiin...mohon maaf klo ngak sesuai aslinya karena sudah ada beberapa penambahan dan penyesuaian disana sini sesuai selera yang nulis *plak*.:)
Bab mengenai pernikahan selalu menarik dan penting
untuk dibahas. Bukan hanya karena soal romantisme-nya. Sebab pernikahan
bukan hanya tentang bulan madu. Malah, nyatanya, lebih banyak bulan
racun daripada bulan madu. Persoalannya, apakah kita punya penawarnya?
Lebih dari itu, pernikahan –menggunakan istilah
Ustadz Anis Matta, adalah peristiwa peradaban. Keputusan pernikahan
adalah salah satu keputusan paling penting dalam hidup, jauh lebih
penting dari keputusan memilih sekolah terbaik, kampus terbaik, tempat
kerja terbaik, dan seterusnya. Karena, sekali lagi, pernikahan adalah
peristiwa peradaban. Bukan hanya soal mengubah tatanan demografi
masyarakat, tetapi pernikahan membuka pintu untuk generasi baru, yang
bisa jadi, melalui mereka tugas kekhalifahan manusia terlaksana.
Sayangnya, ketika membicarakan pernikahan dan
persiapannya, biasanya kita akan berfokus pada dua hal: harta dan
mental. Padahal ada satu hal yang sangat penting, yang menjadi kunci
kesuksesan pernikahan, yaitu ilmu. Bukan hanya ilmu mengenai tata cara
mengkhitbah atau wawasan ke-Islaman dasar, tetapi juga, yang ditekankan
dalam bahasan sederhana ini, ilmu merekayasa dan memelihara sebuah
generasi terbaik.
Sumber Daya Manusia (SDM) terbaik sesungguhnya
bukan diciptakan di kampus-kampus, sekolah-sekolah, atau institusi lain
yang kita sebut “pendidikan”. SDM terbaik lahir dari keluarga. Didikan
keluarga adalah pondasi bagi semua pendidikan lain di luar keluarga.
Sebuah riset yang dilakukan oleh beberapa departemen di FISIP UI bersama
KPK menemukan bahwa para pelaku koruptor (yang telah terbukti bersalah
dan ditahan) memiliki masalah sewaktu dibesarkan dalam keluarganya dulu.
Mengenai SDM terbaik, Rasulullah SAW. pernah bersabda:
“Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
Salah satu ciri SDM terbaik, jika mengacu pada
generasi Rasulullah SAW., adalah usia karakter yang jauh lebih matang
melampaui usia fisiknya. Dan semua ini dihasilkan dari keluarga yang
berkualitas. Sehingga, berbicara visi pernikahan bukanlah sekadar
tentang menjadi suami/istri, tetapi juga menjadi ayah/ibu, dan juga
tentang mencari ayah/ibu terbaik bagi generasi yang kita lahirkan kelak.
Tentang pendidikan anak, kita sering mendengar
pepatah Arab, “Ibu adalah madrasah bagi anaknya.” Pepatah ini benar,
namun sebenarnya masih memiliki lanjutan, yaitu “.. dan ayah adalah
kepala sekolahnya.” Maka, pendidikan anak bukan hanya soal ibu dan anak,
tetapi bahkan ayahlah yang paling bertanggung jawab atas visi,
perencanaan, pelaksanaan juga evaluasi pendidikannya.
Islam sendiri mengangkat tinggi peran ayah dalam
pendidikan anak. Dalam Al-Quran, secara keseluruhan ada 17 dialog
tentang pengasuhan, yang tersebar diantara 9 surat. Terdapat 14 dialog
antara ayah dan anak, 2 dialog antara ibu dan anak, dan hanya 1 dialog
antara guru dan murid. Cukup mengejutkan bukan? Di saat hari ini
masyarakat kita menganggap amanah membesarkan anak “dibebankan” kepada
ibu saja, sehingga menyebabkan banyak perempuan menunda-nunda pernikahan
dengan alasan ingin mengejar cita-cita, karir, dan lain sebagainya
sebelum ia harus berhenti untuk mengurusi anak-anaknya. Paradigma ini
juga menimbulkan kecemburuan bagi kelompok perempuan tertentu terhadap
kaum laki-laki, sehingga mempertanyakan kesetaraan antara perempuan dan
laki-laki.
Terlepas dari perdebatan mengenai hal tersebut,
poin pentingnya adalah perlunya pelurusan paradigma tanggung jawab
mendidik anak. Prinsip pendidikan ayah dan ibu adalah saling mengisi,
tidak berarti bergantung pada salah satu saja. Namun peran ayah sangat
ditinggikan. Seorang bijak pernah berkata, “Jika ada anak yang durhaka,
perhatikan ayahnya.”
Bahkan, tanggung jawab pendidikan anak pada (calon)
ayah sudah ada sebelum anak tersebut tercipta dalam kandungan, yaitu,
sebagaimana Umar bin Khatthab pernah berkata, “Hak anak atas orang
tuanya adalah dipilihkan ibu yang shalihah.” Sementara dua hak anak
lainnya terpenuhi manakala anak tersebut telah lahir, “lalu mengajarkan
Al-Qur’an, dan memilihkan nama yang baik.”
Ketika anak berada dalam kandungan, suami memiliki
kewajiban untuk menyenangkan istrinya. Seorang ibu yang hamil pada
dasarnya hanya memiliki tiga macam aktivitas, sebagaimana yang Allah
kisahkan dalam surah Maryam ketika Maryam mengandung, “
Maka makanlah dan minumlah dan senangkanlah hatimu …” (QS. Maryam: 26).
wiieeh..enak banget ya jadi orang hamil #eh. Ada tradisi Islam yang semakin hilang, yaitu
tradisi dimana masyarakat ikut menjaga, memudahkan, membantu, dan
membahagiakan muslimah yang sedang mengandung, dan ketika kandungannya
lahir disambut dengan suka cita sebagai “bayi ummat ini.”
Kita sepatutnya curiga, jangan-jangan di rahim seorang muslimah, terlebih di rahim istri kita, ada ulama dan mujaddid (pembaharu)yang Allah titipkan, yang kelak akan membawa ummat muslim berdiri tegak memimpin dunia dan mensejahterakan alam..
nah itulah langkah awal dalam membentuk keluarga islami...hmmm kok pendek ya? ya iyalah wong kajiannya singkat kok..:)
0 komentar:
Posting Komentar