RSS

Bukan Hanya antara AKU, KAU dan KUA :)


Siapapun membaca cerita-cerita tentang kebahagiaan orang yang akan dan sudah menikah, tentu akan membuat para hati perempuan (mungkin juga lelaki) akan berbunga-bunga kemudian munculah perasaan ingin merasakan hal yang sama. Banyak yang bilang menikah itu mudah, berapa banyak seminar-seminar yang motivasi agar menikah segera. Atau status-status, cuit-cuit, bahkan tulisan panjang tentang indahnya (proses) pernikahan, yang pada akhirnya membuat galau (:P) beberapa anak manusia.

Andai saja, proses menuju pernikahan itu semudah motivasi-motivasi yang dilontarkan banyak motivator yang seringkali dikutip oleh banyak anak muda. Andai saja pula, menikah itu semudah perempuan dan lelaki yang saling suka, kemudian pergi ke KUA kemudian menyodorkan permintaan agar segera dinikahkan. Tentu, saya percaya sekali, jumlah para single dimuka bumi ini, khususnya Indonesia akan berkurang drastis dengan cepat.

Tapi pernikahan itu bukan cuman urusan dua orang yang sedang memadu cinta kasih. Bahkan menemukan pasangan yang tepat untuk menemani sisa 2/3 umur kita bukanlah hal yang sederhana. Bagi saya itu adalah hal krusial yang akan menentukan panjang atau tidaknya umur sebuah pernikahan. Bagaimana mungkin, kita bisa menghabiskan 24 jam dalam seumur hidup kita, bukan kepada orang yang kita cintai. Jangan sampai, keinginan menikah karena ‘bayang-bayang’ kebahagian pernikahan orang lain, membuat kita gelap mata, sehingga memutuskan untuk hidup dengan siapa saja.

Saat satu ditambah satu, bukan sama dengan dua. Tapi hasilnya adalah banyak, banget.
Menikah itu tidak sesederhana konsep aku dan kau saja. Menikah itu adalah satu bentuk perbaikkan sebuah peradaban hal yang paling mudah. Bukan sekedar cerita tentang dua manusia, tapi juga tentang dua buah kehidupan yang tadinya (mungkin saja) benar-benar berbeda.  Dua kehidupan tentang dua keluarga, yang bisa saja beda adat dan istiadatnya.

Suatu hari, pernah seorang kakak yang sedang menyiapkan proses pernikahan bercerita tentang saya. Mereka merencanakan untuk menikah sesuai dengan keinginan dua calon, konsep mereka. Tapi setelah mereka jalani, ternyata pernikahan itu benar bukan hanya tentang keinginan mereka, tetapi bagaimana mengakomodir keinginan semua pihak di keluarga, agar berjalan dengan tenang dan semua senang. Tentu mereka, pada akhirnya, harus merelakan ‘konsep-konsep sederhana’ tentang pernikahan yang telah mereka rancang berdua, agar digantikan dengan keinginan dua buah keluarga besar. Tapi mereka pada akhirnya tidak berkecil hati, karena bagi dia itu salah bentuk bakti dia kepada orangtua.

Belum lagi masalah persiapan, baik untuk itu, itu, dan itu. Tentu semua itu tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. Salim A Fillah bahkan pernah bilang, menikah itu tidak perlu cepat-cepat, tapi disegerakan, disegerakan saat Tuhan (dan kita) merasa kita sudah benar-benar ‘matang’.

Makanya saya gemas sekali saat membaca kalimat-kalimat yang jadinya (bagi saya pribadi) terlalu menggampangkan (dan sedikit memberikan harapan palsu) tentang proses pernikahan itu sendiri. Pernikahan itu baik, sangat baik malah, tapi kalau hanya baik-baiknya yang diceritakan, mungkin banyak orang yang  menaruh ekspektasi tinggi pada pernikahan, dan akan menjadi lebih kecewa saat banyak hal yang tidak sesuai ekspektasi. 

Bagi saya, lagi, banyak hal-hal yang realistis yang perlu kita tahu tentang pernikahan, bukan hanya baiknya, tapi juga ‘duka-duka’ saat menjalaninya. Saya percaya bahwa pernikahan itu adalah satu bentuk ujian atas keikhlasan manusia. Tentu saat menuju proses menikah, akan berlangsung situasi yang naik turun, ada kala bahagia, adakalanya pula berduka, dan sikap yang paling baik adalah menjalaninya dengan ketakwaan dan keikhlasan. 

Maafkan, tulisan dan analisis saya yang cupu ini. Kalau kata babang saya, babang Akhyar, selamat merawat akal sehat :)

Wallahu a’lam bish shawabi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Followers