Bismillahirrohmanirrohiim…
Hasil diskusi panjang lebar kali tinggi dengan beberapa
teman yang memang lagi sedang mempersiapkan diri untuk selangkah lagi lebih
maju, selangkah lebih berani untuk memulai melakukan start untuk mencapai
ibadah yang bernilai separuh agama itu. Maka setelah menggulang-ngulang kembali
apa yang telah saya pelajari ini lah pandangan saya terhadap pro dan kontra “pernikahan
tanpa pacaran”
Menikah itu
adalah ibadah yang bernilai separuh agama, maka khusyuklah dalam menjalaninya. Karena
godaannya pun tak main-main@arsyanurani
salah satu ciri yang menonjol dari zaman Nabi dan
Sahabat yang mulia itu adalah . Pewarisan
karakter yang sangat kental dari para ayah kepada para anak. Seperti dari
Sa’d ibn ’Ubadah kepada Qais yang telah kita tau bersama. Di belakang nama
orang Arab selalu terderet nama ayah-ayah mereka. Mungkin salah satu hikmahnya
adalah identifikasi. Tak cuma identifikasi keturunan siapa. Tapi juga wataknya.
Kalau kau ingat bapaknya dulu punya suatu sifat mulia, demikian pula kurang
lebih anaknya.
Itulah zaman di mana orangtua benar-benar
dituakan oleh anaknya, dan mereka mendapatkan pendidikannya di madrasah yang
tanpa libur dan tanpa jeda. Di rumahnya. Tempat di mana mereka belajar bukan
hanya dari apa yang terucap, tapi apa yang dilakukan oleh ayah bundanya.
Orangtua adalah guru yang sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati
karena integritas di hadapan anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua
perilakunya membanggakan untuk dijadikan identitas.
Maka jadilah masyarakat itu masyarakat yang punya
tingkat saling percaya amat tinggi. Kalau kau mau menikahi Hafshah, tak perlu
berkenalan dengan Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang
lebih ya seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu
engkau mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh
dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash
Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq.
Tapi zaman sekarang? Mungkin tak bisa lagi seperti itu. Karena anak tidak bisa
lagi dinilai dengan siapa orang tuanya
Nah dari sinilah kita bahas pernyataan dalam
masyarakat. Ada yang memberi pernyataan, ”Di dalam Islam kan tidak ada pacaran,
yang ada ta’aruf.” Benerkah seperti itu?, ”Ta’aruf? Tidak ada dalilnya. Tidak
ada asal dan contohnya dari Rasulullah maupun para shahabat. Ini istilah umum
yang dipaksakan menjadi istilah khusus pernikahan. Sedihnya lagi, ada yang
menyalahgunakannya. Mengganti istilah, dengan hakikat dan isi yang nyaris
sama dengan pacaran. Na’udzu billaahi min dzalik.”
Maafkan sekiranya saya berlebihan. Tapi begitulah.
Kata ta’aruf artinya ’saling mengenal’ hanya kita temukan dalam Al
Quran dalam konteks yang umum.
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al
Hujuraat 13)
♥♥♥
Tetapi tentu saja sebuah pernikahan yang dimulai
dengan hanya mengandalkan rasa saling percaya di dalam suatu masyarakat menjadi
penuh resiko di kelak kemudian hari. Apalagi hari ini, ketika kita mudah oleng,
tak teguh berpijak pada wahyu dan nurani. Beberapa halaman lewat, pada tajuk Berkelana
dalam Pilihan kita sudah menyimak kisah Habibah binti Sahl yang akhirnya
memilih mengajukan pisah dari suaminya, Tsabit ibn Qais. Mengapa? Habibah mengukur kekuatan dirinya yang ia rasa
takkan sanggup bersabar atas kondisi suaminya yang menurutnya, ”Paling
hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya.”
Ya, masalahnya adalah Habibah belum pernah
melihat calon suaminya itu. Belum pernah. Sama sekali belum pernah. Mereka baru
bertemu setelah akad diikatkan oleh
walinya. Sebelum berjumpa, dalam diri Habibah muncul harapan sewajarnya akan
seorang suami. Dan harapan itu, karena ketidaksiapannya, karena ia belum pernah
melihat sebelumnya, menjadi tinggi melangit dan tak tergapai oleh kenyataan. Ia
dilanda kekecewaan. Mungkin kisahnya akan lain jika Habibah telah melihat calon
suaminya sebelum pernikahan terjadi. Ia punya waktu untuk menimbang. Ia punya
waktu untuk bersiap. Ia punya waktu untuk, kata Sang Nabi, ”Menemukan sesuatu
yang menarik hati pada dirinya.”
Dalam riwayat Imam Abu Dawud, Jabir ibn ’Abdillah
mendengar Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam bersabda, ”Jika
salah seorang dari kalian hendak meminang seorang perempuan, jika mampu hendaklah ia melihatnya
terlebih dahulu untuk menemukan daya tarik yang membawanya menuju pernikahan.”
Maka ketika Jabir hendak meminang, ia rahasiakan maksudnya, dan ia melihat
kepada wanita Bani Salamah yang hendak dinikahinya. Ia menemukannya. Hal-hal
yang menarik hati pada wanita itu, yang mebuatnya memantapkan hati untuk
menikahi.
Al Mughirah ibn Syu’bah Radhiyallaahu ’Anhu,
sahabat Rasulullah yang masyhur karena kehidupan rumahtangganya yang sering
dilanda prahara sejak zaman jahiliah, suatu hari ingin meminang seorang
shahabiyah, seorang wanita shalihah. Maka Sang Nabi pun berkata padanya,
”Lihatlah dulu kepadanya, suapaya kehidupan kalian berdua kelak lebih
langgeng.”
Subhanallah, inilah pernikahan terakhir
Al Mughirah yang lestari hingga akhir hayatnya. Padahal sebelumnya entah berapa
puluh wanita yang pernah menemani hari-harinya. Penuh dinamika dalam nikah dan
cerai. Itu di antaranya disebabkan ia tak pernah melihat calon isterinya
sebelum mereka menikah. Maka dengan menjalani sunnah Sang Nabi, Al Mughirah
mendapatkan doa beliau, mendapatkan ikatan hati yang langgeng dan mesra.
Demikian disampaikan kepada kita oleh Imam An Nasa’i, Ibnu Majah, dan At
Tirmidzi.
Dari mereka kita belajar bahwa syari’at mengajari
kita untuk nazhar. Melihat. Melihat untuk menemukan sesuatu yang membuat kita
melangkah lebih jauh ke jalan yang diridhai Allah. Bukankah yang Allah bilang
yang Buta itu bukan mata, tapi hati, mari buka hati untuk melihat. Melihat
untuk menemukan sebuah ketertarikan. Itu saja. Bukan mencari aib. Bukan menyelidiki cela. Bukan mendetailkan
data-data. Lihatlah kepadanya. Itu saja. Tentu dengan melestarikan
prasangka baik kita kepada Allah, kepada diri, dan kepada sesama. Apalagi ini
sudah zaman modern dengan gampang kita bisa melihat keseharian seseorang,
melalui kata-katanya, melalui status-statusnya atau apapunlah.
berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan
dalam batas-batasnya, dan selalu mencari hal yang menarik. Bukan sebaliknya
mencari-cari sesuatu yang tidak selayaknya untuk dilihat. Atau mencari sesuatu
yang berupa aib atau kekurangan. Karena kita semua sama-sama memiliki
kekurangan dan aib.
Jika nazhar telah kita lakukan, sungguh kita
telah mengeluarkan kucing dari karungnya. Tak lagi membeli kucing dalam karung.
Karena kucing juga tak suka dimasukkan dalam karung. Karena kita juga tak ingin
menikah dengan kucing.kan?
Tapi nazhar itu cukuplah sedikit saja.
“Mengapa
terlalu banyak tahu terkadang menghalangi kita?”, kata Murakami dalam buku The
Divine Message of The DNA. “Sebenarnya bukan informasi itu sendiri yang
pada dasarnya buruk; tetapi mengetahui lebih banyak daripada orang lain dapat
membuai kita untuk mempercayai bahwa keputusan kita lebih baik.”
Padahal
seringkali dengan banyaknya informasi membanjir, kemampuan otak kita untuk
memilah mana informasi yang berguna dan mana yang tak bermakna menjadi menurun.
Otak kita bingung menentukan prioritas.
Fakta yang kita anggap penting ternyata sampah. Sebaliknya, hal kecil yang kita
remehkan justru bisa jadi adalah kunci dari semuanya. Maka, merujuk pada Gladwell dan Murakami, kita memang tak perlu tahu
banyak hal. Cukup mengetahui yang penting saja.
Begitu juga tentang calon isteri, calon suami,
calon pasangan kita. Kita tak perlu tahu terlalu banyak. Cukup yang penting saja.
Ada sebuah kisah nyata seorang lelaki hendak
menikah. Maka satu hal saja yang ia persyaratkan untuk calon isterinya;
memiliki tiga kelompok binaan pengajian yang kompak padu. Ketika mereka bertemu
untuk nazhar sekaligus merencanakan pinangan, sang wanita berkata, “Maaf, saya
tidak bisa memasak.” Ini ujian Allah, batin si lelaki. Bukankah dia hanya
meminta yang memiliki binaan pengajian? Mengapa harus mundur, ketika sang calon
tak bias memasak?
“Insyaallah di Jogja banyak rumah makan”, begitu
jawabnya sambil menundukkan senyum.
“Dan saya juga tidak terbiasa mencuci.”
Kali ini senyumnya ditahan lebih dalam.
Kebangetan juga sih. Tapi ia tahu, ini ujian. Maka katanya,
“Insyaallah di Jogja banyak laundry.”
Ia, sang lelaki tahu apa yang penting. Kejujuran. Keterbukaan. Itu sudah
ditunjukkan oleh sang wanita dengan sangat jelas, sangat ksatria. Ia berani
mengakui tak bisa memasak dan tak bisa mencuci. Tanpa diminta. Dua hal yang
kadang membuat lelaki rewel. Tetapi dia adalah lelaki yang berupaya selalu
memiliki visi dan misi. Maka dia mendapatkan sesuatu yang berharga; seorang
wanita yang memiliki tiga kelompok binaan kompak padu. Dan itu sangat berarti bagi
visi dan misinya dalam membangun keluarga. Selebihnya, siapa juga yang mencari
tukang cuci dan tukang masak? Yang dia cari adalah seorang isteri, bukan kedua
macam profesi itu.
And you know? Setelah pernikahan berjalan
beberapa waktu, ketika merasa diterima apa adanya oleh suami tercinta, sang
isteripun mencoba memasak. Ternyata ia pandai. Hanya selama ini ia tak pernah
mencoba. Masakannya lezat, jauh melebihi harapan sederhana sang suami. Begitu
juga dalam hal-hal lain. Banyak kejutan yang diterima sang suami. Jauh melebihi
harapan-harapannya. Dulu, dia memang tak terlalu banyak tahu tentang calon
isterinya. Ia cukup mengetahui yang
terpenting saja.
Dua detik
itu sangat menentukan. Mungkin karena dalam dua detik itulah ruh saling
mengenal. Mereka saling mengirim sandi. Jika sandi dikenali, mereka akan
bersepakat, tanpa banyak tanya, tanpa banyak bicara. Karena sesudah itu adalah
saatnya bekerja mewujudkan tujuan bersama. Segera. Jangan ditunda-tunda.
“Ruh-ruh itu ibarat prajurit-prajurit yang
dibaris-bariskan. Yang saling mengenal diantara mereka pasti akan saling
melembut dan menyatu. Yang tidak saling mengenal diantara mereka pasti akan
saling berbeda dan berpisah.” (HR Al Bukhari [3336] secara
mu’allaq dari ’Aisyah, dan Muslim [2638], dari Abu Hurairah)
Ruh itu seperti tentara. Ada sandi di antara mereka. Jika sandi telah dikenali,
tak perlu banyak lagi yang diketahui. Cukup itu saja. Mereka akan bersepakat.
Mereka adalah sekawan dan sepihak. Mereka akan bergerak untuk satu tujuan yang diyakini.
Jadi apakah yang menjadi sandi di antara para ruh? Iman. Tentu saja.
Kadar-kadarnya akan menerbitkan gelombang dalam frekuensi yang sama. Jika tak
serupa, jika sandinya tak diterima, ia telah berbeda dan sejak awal tak hendak
menyatu.
”Iman”, kata Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaalil
Quran, ”Adalah persepsi baru terhadap alam, apresiasi baru terhadap
keindahan, dan kehidupan di muka bumi, di atas pentas ciptaan Allah, sepanjang
malam dan siang. Dan inilah yang diperbuat keimanan. Membuka mata dan hati. Menumbuhkan
kepekaan. Menyirai kejelitaan, keserasian, dan kesempurnaan.” Maka biarlah
dia yang menjadi ratu penentu, di dua detik pertama nazhar kita.
berbaik sangka kepada Allah, menjaga pandangan
dalam batas-batasnya, dan selalu mencari
hal yang menarik. Bukan sebaliknya. yang
terpenting bukanlah seberapa banyak engkau tahu, tapi bahwa engkau mengetahui
yang memang bermakna bagimu. Dan bahwa Allah selalu bersamamu.
0 komentar:
Posting Komentar