Beberapa bulan yang lalu, saya pernah walk-out dari seminar motivasi seharga 500ribu selama dua hari berturut-turut. Saya hanya mampu bertahan di ruangan itu selama 2 jam saja. Alasannya, karena setiap 5 menit yang diteriakkan oleh sang motivator adalah, ‘Makanya nikah.’ Bagi saya, it really sucks, you know. Karena sang motivator hanya mampu meneriakkan, memotivasi, tapi tidak membantu mengusahakan, hahaha. Bayangkan, berapa banyak perempuan yang di dalam ruangan itu yang akhirnya pulang-pulang galau, kemudian curhat di media sosial, berharap ada lelaki yang datang untuk melamarnya. Daripada saya terjerat dalam kegilaan tersebut, saya memutuskan untuk mengikhlaskan uang investasi saya. Saya lalu melambai-lambaikan tangan ke kamera karena menyerah ingin pulang. Hahaha.
*narik nafas*
Entah mengapa, fenomena nikah muda ini kian marak di tahun 2012 (saya berharap bukan karena akan ada kiamat di akhir tahun), hampir setiap pekan saya mendapatkan undangan pernikahan. Alhamdulillah, jodoh mereka memang sudah dekat, dan memang sudah jalannya dari Allah untuk mereka menikah. Yang belom? Banyak-banyak istighfar, memang sudah jalannya dari Allah ditunda dulu jalannya untuk menyempurnakan separuh agama. Apakah saya galau? Saya akan mengatakannya dengan jujur, tentu saja saya galau (beberapa bulan yang lalu-lalu ajah tapi :P), apalagi kanan-kiri-depan-belakang-atas-bawah selalu bawa-bawa pertanyaan, ‘Kapan nikah?’, sebenarnya jawabannya bisa sangat sederhana, misal, ‘Kapan ajah boyeeeh’. Tapi yang bikin pusing itu, ‘sama-siapanya’. Ga mungkin kan, tetiba saya nemu cowok di pinggir jalan, kemudian saya tanya, ‘Mas, saya single (inget, kata Jomblo harom yah), pengen nikah, mas mau sama saya?’
Gilaaaaaaaaaaaaaaa.
Untungnya. Untungnya banget nih yah, saya masih punya temen-temen (yang sebenernya galau) tapi sama-sama menguatkan, hahaha. Ada beberapa temen yang selalu kasih advice buat saya, bahwa saya ga boleh sembarangan milih partner hidup, karena pernikahan bukanlah sesederhana itu. Dua per tiga umur saya dihabiskan hanya dengan orang yang sama. Kalo sekarang umur kamu 23 tahun dan kamu dikasih jatah hidup 63 tahun, boooook, kamu ngabisin 40 tahun dengan orang yang itu-itu ajah. Bangun tidur, ada dia di samping kamu. Mau mandi, eh ketemu dia lagi. Mau masak, masakkin dia. Nyuci baju, eh tumpukkannya lebih banyak daripada waktu ngkost karena ada baju dia. EMPAT PULUH TAHUN!
*merenung*
Tadi pagi tepat pukul 2 subuh, saya terbangun karena seorang teman mengirimkan saya pesan singkat dengan isi, ‘Naaaaaayyyyyy.’ Tentu saja karena beliau teman baik, saya pikir ada sesuatu yang salah, sehingga saya balas dengan cepat. Singkat kata, ternyata beliau tidak kenapa-kenapa, dan hanya sekedar ingin curhat masalah ‘Nikah’. Oh, well. Jadi saya tidak tidur, mendengarkan ketakutan dia-yang-baru-saja-sebut-saja-di-propose-oleh-pacarnya.
Dia takut, menikah dengan pacarnya bukanlah pilihan yang tepat. Sayangnya saya cuman bisa kasih nasehat sederhana, nasehat basi yang semua orang juga bisa kasih. Karena sebenernya motivasi terbaik itu adalah dari diri kamu sendiri. Saya memberikannya beberapa pertanyaan, yang pada akhirnya ternyata ‘mantul’ ke saya (eciyeee Naya). Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang keluar dari mulut saya, tapi sebenernya bikin saya merenung pake-banget.
Sebenernya kamu pengen nikah ga sih? Tujuan besar kamu nikah apa sih (selain karena anjuran agama)? Kamu punya visi-misi kan? Cocok ga visi-misi kamu sama dia? Kamu bisa ga hidup ‘tanpa’ dia? (Kenapa kata ‘tanpa’ saya kasih tanda kutip, karena semua manusia di muka bumi ini tahu, bahwa kita itu ga bisa hidup tanpa oksigen, lalu minum, kemudian makan. Jadi walau agak sedikit cheesy, pertanyaan ini penting bagi saya) Bla-bla-bla-bla. Dan pertanyaan akhir, yang sebenarnya, sangat krusial, ‘Apa yang sebenarnya kamu cari dalam hidup ini?’ #engingeng #zoominzoomout
Nah, jawaban-jawaban dari pertanyaan itu tentu akan sangat beragam, dan tidak akan pernah ada yang koreksi benar-atau-salah, karena benar atau salah itu sungguh relatif kecuali kebenaran dari Allah #NayaedisimamahNaya. Saya jadi merenung, sungguh merenung. Benarkah saya benar-benar ingin menikah? Saya punya banyak mimpi besar, setelah menikah, apakah keluarga kecil saya akan mendukung langkah saya? Apakah dia yang dihadapan saya saat ini (misalnya :P) adalah pilihan yang benar-benar tepat, apakah saya mampu menikahi segala kekurangannya, bukan hanya kelebihan yang dia miliki, bukan hanya karena dia sayang sama saya.
Saya tidak pernah menyangka, bahwa kontemplasi panjang ini sungguh menampar saya. Saya jadi merasa bersalah dengan tulisan-tulisan saya tentang menikah, yang dulu-dulu banget. Ternyata, perihal menikah ini memang benar-benar bukan masalah yang sederhana. Karena bukan hanya menyangkut hidup dua orang, tetapi menyangkut hajat hidup orang banyak. Saya jadi inget Tery pernah bilang, ‘Kalo lo nikah, jangan pergi dari Depok yah, nanti SBM siapa yang ngurus?’ Tuhkan.
Jadi, untuk tulisan yang super panjang ini. Saya, pertama, ingin minta maaf kalau ada yang sempat termotivasi untuk menikah akibat tulisan saya tapi kemudian galau. Dan kedua, saya ingin mengajak teman-teman untuk kembali pada jalan yang lurus, untuk sadar bahwa menikah itu tidak sesederhana itu, kita boleh galau boleh asal jangan berlebihan yah teman-teman (kalo kata Ayuprissa #jangangalaunantimati yah walaupun mati itu satu-satunya yang pasti). Semua orang punya saat yang tepat untuk ketemu The Right Man-nya, tentu setelah Allah mengizinkan. Usaha terbaik yang bisa kita lakukan adalah menjadi manusia yang baik, sesuai dengan perintah penciptaan kita di muka bumi ini (bagi yang muslim, mungkin bisa ngcek Ad Zariyat ayat 56).
Terakhir, berhentilah menggunakan becandaan ‘Kapan nikah?’ Seriously, itu pertanyaan sederhana tapi bikin pengen ngunyah pintu, hahaha. Sekian tulisan saya pagi hari ini, maaf merusak keceriaan ranah dashboard kalian. Saya doakan, semoga kita disegerakan menyempurnakan separuh agama, di waktu yang tepat, dengan orang yang tepat, dan karena alasan yang tepat. Wallahu a’lam bish shawabi.
1 komentar:
Mbak,suka tulisannya.. :)
Posting Komentar