Bertemu dengan keluargamu dan terutama ibumu adalah salah satu yang bisa
membuat jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Ini bukan kali pertama
aku bertemu mereka, tapi ini adalah kali pertama aku akan bertemu dengan ibumu
sebelum pernikahan kita, yang tinggal hitungan hari. Ini kali pertama aku
bertemu dengan ibumu, setelah kau datang kepada orangtuaku, berbicara serius.
Aku merasa khawatir, berusaha mereka-reka sendiri, nanti ibumu akan galak atau
ramah. Bertanya-tanya, kira-kira nanti ibumu akan bertanya apa saja padaku.
Apakah akan ditanyakan tentang bisa masak apa saja? Pertanyaan yang ingin
sekali kuhindari, karena dalam hal memasak, aku belum bisa dibilang pandai.
Dan, memikirkan ini membuat makanku tidak enak. Meskipun, nanti ayahmu juga
ada, entah kenapa, aku justru tidak mengkhawatirkan apa yang akan diinterogasi
oleh ayahmu. Aku yakin, ayahmu suka kepadaku, sebagai calon menantunya.
Kepercayaan diri yang luar biasa. Tapi sungguh, yang kukhawatirkan hanya ibumu,
bertemu atau mengobrol dengan ibumu.
“Assalamu’alaikum”, terdengar suara dari luar.
“Wa’alaikumsalam”, segera aku menuju pintu, jantungku semakin berdegup
kencang. Aku tahu yang berdiri di balik pintu itu adalah kau dengan ayahmu.
Tepat waktu sekali menjemputku.
“Suruh masuk dulu, Nak”, begitu kata ibuku, yang dari tadi juga menunggu
kedatangan dua orang yang sebentar lagi akan menjadi bagian dari keluarga.
“Iya, Bu”. kataku.
“Bapak, abang, disuruh masuk dulu sama Ibu”, kataku dengan pipi yang
memerah. Ini kedua kalinya aku bertemu dengan calon ayah mertuaku, setelah
kemarin beliau juga datang menemani si pangeran, berbicara serius dengan waliku.
“Nanti saja mampirnya setelah makan malam di rumah, kan nanti kita berdua,
nganterin kamu lagi”, kata ayahmu dengan santai. Aku hanya mengangguk,
menyembunyikan kencangnya degupan jantungku, yang sekarang mulai mereda. Kami
bertiga berpamitan.
Dan setelah inilah, degupan jantung semakin terasa kencang. Lebih kencang
dibandingkan kalau mau mengahadapi ujian tertulis atau interview pekerjaan.
—————————
Sesampainya di halaman rumahmu.
“Ayo turun, jangan melamun terus. jangan grogi gitu dooong”, begitu katamu,
bisa-bisanya kau meledekku di saat-saat cemas seperti ini. Huuh. Aku jadi mulai
salah tingkah.
“Ibu, galak lhooo”, kau berusaha menggodaku lagi. Dan ucapanmu semakin
membuatku stres.
Aku berjalan mengikutimu dan bapakmu, dengan wajah setengah menunduk,
tanganku mulai dingin.
“Assalamu’alaikum”, salam kami bertiga berbarengan. Ibumu muncul dari balik
pintu. Cantik dan anggun.
“Wa’alaikumsalam. Ini toh, calon mantu ibu?”, suara ibumu hangat, sedikit
membuatku lega. Senyuman ibumu juga sangat membuatku tenang. Huuh, tidak galak
seperti yang kau ledekkan kepadaku, kok.Perasaan lega mulai menjalariku, aku
berusaha menghilangkan kekikukan, dengan mengembangkan senyum.
“Iya, Bu”, jawabku, bersalaman. dan cipika cipiki.
“Ayo, masuk, makanannya sudah ibu siapkan”, ibumu merangkulku. Aku mulai
merasa nyaman.
Makan malam berjalan aman. Rasanya aku bisa menghembuskan napas secara
teratur sekarang. Kali, ini di dapur, saat aku akan mencuci piring kotor, hanya
ada aku dan ibumu. Tidak, tidak, berdua dengan ibumu, tidak seperti berada
dekat dementor yang tadi kubayangkan di rumah.
“Eh, Dinda ga usah, ayo ke depan aja, ga usah dicuci”.
“Gapapa Bu, Dinda sudah biasa kok di rumah”, well, ini bukan pekerjaan ambil
hati calon mertua yaa. Ini memang sudah biasa aku lakukan di rumah.
“Yasudah. ibu temani, sambil ngobrol yaa”. Aku hanya mengangguk.
Awalnya hening. Aku bukan tipe yang bisa memulai pembicaraan. Tapi, memang
ibumu pintar sekali mengendalikan suasana, kemudian bertanya panjang lebar
padaku.
“Dinda, ibu ada pertanyaan, kalau berangkat kerja, bangunnya jam berapa?”,
pertanyaan yang tidak kuduga.
“Hmmm”, agak lama aku menjawab. “Jam tiga Bu atau setengah empat”. kataku
sibuk dengan piring kotor.
“Ohh, pagi sekali. Pasti sholat malam dulu yaa? Ga tidur lagi dong sampai
subuh?: senyum ibumu mengembang, aku hanya mengangguk. Tidak tahu harus
berkomentar apa.
“Sekarang ibu yakin”, kata ibumu lagi.
“Hmm, yakin kenapa Bu?”
“Yakin, kalau kamu calon menantu yang baik, tentu akan menjadi istri yang
baik buat anak ibu nanti”. Ibumu tersenyum lagi.
“Kenapa ibu bisa langsung yakin, dengan hanya sekali bertemu dengan Dinda?”,
pertanyaanku sepertinya menantang.
“Hehehehe, rahasiaaaa, yang pasti ibu yakin sama kamu, dengan hanya
mengobrol malam ini”.
“Ahh, Ibu, mohon doanya yaa Bu”.
“Iya, ibu tentu akan selalu doakan kalian berdua. Ibu ga sabar nih, hari H
pernikahan kalian”. lagi-lagi senyum ibumu meneduhkanku dan membuatku tenang.
Tampaknya, nanti kami akan bisa menjadi ‘teman’ yang baik, karena ternyata
ibumu tidak galak sama sekali seperti yang tadi kau ledekkan kepadaku. Dan yang
paling membuatku senang adalah, ibumu tidak menanyakan sama sekali apakah aku
jago masak atau tidak!
0 komentar:
Posting Komentar