Ini bukan hanya tentang aku, begitupun bukan hanya tentang dirimu. Ini
tentang kita. Ya, setiap kita yang sedang bertumbuh, menuju
penyempurnaan agamanya. Satu per satu rekan-rekan, kerabat, senior, adik
kelas, kenalan menyampaikan kabar gembiranya silih berganti dan berbagi
kebahagiaan melalui undangan pernikahannya di tahun ini. Membaca
tulisan ini, beberapa kita mungkin menganggapnya galau. Galau kini
seolah menjadi terminologi untuk segala pembicaraan terkait konsepsi
hubungan, miris. Beberapa lainnya mungkin antusias, seolah mewakili
gejolak yang ada di dalam hatinya. Selebihnya, mungkin tak peduli.
Menjadi hal yang wajar, di rentang usia sepertiku, konsepsi terkait
hubungan terutama dalam konteks pernikahan sedang ramai dibicarakan.
Tulisan ini hadir bukan untuk membangun kegelisahan yang merisaukan,
namun mencoba menjadi salah satu sarana kecil membangun persiapan dan
sedikit refleksi untuk ku, kamu, dan setiap kita yang sedang , akan,
atau telah membangun pernikahan.
Ingin mengawali bahasan dari fenomena yang cukup menarik perhatianku.
Beberapa orang yang aku kenal memilih menikah di usia sangat muda,
ketika duduk di bangku perkuliahan tingkat 1, 2, 3, 4 hingga masa-masa setelah lulus. Sebaliknya, beberapa orang lain yang aku kenal memilih menikah di
usia yang cukup matang, selaras dengan pencapaian dan kemapanan
kariernya. Fenomena tersebut menjadi sebuah kondisi yang wajar memang.
Hal yang kemudian menjadi tak wajar adalah ketika satu sama lain saling
membanggakan dan memengaruhi orang lain terkait usia pernikahan mereka.
Bahwa menikah muda itulah yang terbaik. Atau justru sebaliknya, kalangan
yang menikah di usia matang mencibir mereka yang menikah muda seolah
gegabah, terlalu tergesa-gesa. Lantas, manakah yang lebih baik?
Terlalu dangkal menurutku jika kebaikan sebuah pernikahan sekadar
dilihat dari segi usia kapan mereka melangsungkan pernikahan. Bagiku,
keputusan menikah muda maupun menikah di usia matang keduanya sama-sama
baik, sama-sama hebat, tergantung konteksnya.
Menikah muda dengan alasan telah siap lahir batin, menyambung tali kasih
sayang, menjaga kesucian dan menjaga kehormatan diri, menghasilkan
banyak anak-anak hebat di kondisi orangtua yang masih produktif dan
sehat tentu alasan yang tepat. Menikah nanti dengan alasan merasa belum
mampu untuk menambah tanggung jawab dan merasa masih mampu menahan
gejolak hasratnya sehingga memilih untuk terus mengisi dan memperbaiki
diri terlebih dahulu, itu pun baik, sama-sama hebat.
Pernikahan itu bukanlah sebuah perlombaan. Jadi tidak tepat sebenarnya
jika masih ada terminologi 'terlambat menikah' ataupun 'terlalu cepat
menikah'. Seharusnya semua orang paham bahwa jodoh adalah rahasia Tuhan.
Sayangnya, tetap saja banyak yang masih punya definisi tentang
‘terlambat menikah’, atau sebaliknya ‘terlalu cepat menikah'. Tidak ada standar kapan harus menikah, karena semua orang khas. Jika tiba masanya, maka pasti akan terjadi, begitu pikirku.
Mungkin kita sadar, banyak sekali buku di pasaran yang bertujuan
mengajak pembacanya menikah muda. Begitu pula acara-acara seperti
seminar, talkshow, yang tema nya tak jauh dari menikah muda pun
ramai di datangi. Marketnya siapa lagi kalo bukan anak muda. Karena
banyak peminatnya, maka menjadi logis buku dan acara-acara ber genre
menikah muda ramai kini kita temukan.
Tak ada yang salah sebenarnya dengan buku atau acara terkait dengan
ajakan menikah muda. Hal ini pun aku pikir muncul sebagai solusi atas
keprihatinan akan kondisi anak muda masa kini. Daripada terpaut dengan
hubungan yang aneh-aneh dan tidak jelas, alangkah lebih baiknya
diarahkan untuk menuju hubungan pernikahan. Begitu mungkin simpulan yang
aku dapat.
Kalau kita lihat positifnya, para anak muda mungkin akan termotivasi
untuk menikah. Termotivasi mempersiapkan kondisi lahir batin untuk
bersanding dengan sang pujaan hati. Yang tadinya malas belajar jadi
semangat belajar. Yang santai-santai saja mencari penghasilan, jadi
semangat dalam bekerja.
Nah, lalu kalau dilihat negatifnya? Aku khawatir semangat menikah begitu
menggelora di dada. Hanya terpesona pada kenikmatan yang di dapat dalam
pernikahan, namun belum ada persiapan apa-apa. Jangan sampai kita lupa
bahwa menikah dikatakan menyempurnakan setengah agama dikarenakan berat
perjalanan yang akan dilaluinya. Memiliki persiapan yang cukup, mutlak
menjadi keharusan. Bukankah gagal mempersiapkan berarti mempersiapkan
kegagalan?
Tidaklah cukup menikah dengan hanya beralasan keinginan untuk melindungi
dan dilindungi, keinginan untuk disayang dan menyayangi, diperhatikan
dan memperhatikan, ditemani dan menemani atau sejenisnya. Menikah bukan
perkara sesederhana itu. Menikah adalah perkara tanggungjawab. Siapkah
kita menjalani tanggungjawab itu?
Disegerakan, namun bukan tergesa-gesa. Mari kita alihkan energi
cinta kita bukan untuk sekadar melihat, bukan hanya untuk memikirkan
tentang dirinya yang terbaik bagi kita. Namun untuk mempersiapkan.
Meningkatkan kualitas diri. Bukankah memperbaiki diri berarti
memperbaiki jodoh? Hal ini berlaku tak hanya untuk laki-laki yang akan
menjemput takdir jodohnya. Begitupun dengan perempuan,jangan sampai menunggu hanya digunakan untuk menutupi ketidaksiapan dan membebankan seluruhnya kepada para lelaki.
Lalu bagaimana mengenai perkara seseorang yang senantiasa berusaha
meningkatkan kualitas diri, namun masih saja mendapat penolakan dalam
menemukan pasangan? Jika benar sudah meningkatkan kualitas diri,
menurutku ia tak merugi. Justru yang merugi adalah yang menolak, karena
ia kehilangan orang yang serius membangun titik temu dengannya, untuk
menggenapkan agama dengan cara yang baik, sedangkan orang yang ditolak
hanya kehilangan orang yang memang tidak serius membangun titik temu
dengan dirinya.
Jangan risau tentang masa depan, termasuk konteks menemukan pasangan,
semuanya ada dalam genggaman Allah. Risaulah jika saat ini kita tidak
serius mendekatinya. Sertakan Allah dalam perjuanganmu, karena jodoh
itu bukan perkara ada yang suka pada kita atau ingin menikah dengan
kita. Ternyata jodoh ialah saat Allah mengerakkan hati dua manusia untuk
kemudian berkata ‘Ya Kami siap menikah.' Jangan terlalu khawatir,
kekhawatiran tak menjadikan bahayanya membesar. Hanya dirimu yang
semakin mengerdil. Tenanglah, semata karena Allah bersamamu. Maka,
tugasmu hanya berikhtiar! Kelak waktu yang menjadi jawaban atas takdir
masa depan kita. Bicara tentang waktu, waktu nampaknya akan terasa
lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu panjang bagi mereka yang
gelisah, dan terlalu singkat bagi mereka yang bahagia, namun waktu akan
terasa abadi bagi mereka yang mampu bersyukur. Untuk itu bersyukurlah.
Syukur bukan hanya perkara terima kasih atas apa-apa yang sudah Allah
berikan, melainkan juga tentang berbaik sangka pada Nya. Berbaik
sangkalah!
Lalu untuk kita yang sudah menemukan pasangan, atau 'calon' pasangannya.
Tanggung jawab tak sekadar mencari nafkah bagi lelaki dan mengurus
rumah tangga bagi perempuan. Hal seperti itu tentulah lumrah
dibicarakan. Hal lain yang perlu juga mendapat perhatian ialah tentang bagaimana menerima pasangan kita dengan sempurna. Sadarilah,
bahwa kita tidak pernah bisa menuntut siapapun sempurna, karena
sejatinya kesempurnaan adalah kekurangan yang senantiasa diperbaiki,
perbedaan yg senantiasa disatukan, perasaan saling yang membuat
segalanya tergenapi.Belajarlah untuk senantiasa memahami pasangan
kita. Semakin tinggi tingkat pengenalan seseorang kepada sesuatu yg
dicintainya maka sesuatu yang harusnya pahit bisa menjadi manis. Engkau
tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala
sesuatu dari sudut pandangnya dan mencoba menjalani hidup dengan
caranya. Kelak ketika kau menemukan kekurangannya, cintailah itu. Karena
ketika engkau sudah bisa mencintai kekurangannya, kelak ketika kau
menemukan kelebihannya, engkau akan semakin mencintainya. Dan cinta, itu
akan menguatkan jiwa yang lemah, bukan melemahkan jiwa yang kuat. Ia
bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan, bukan mengajar
kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan, bukan melemahkan
semangat, tetapi membangkitkan semangat. Karena itu, untuk ia yang memutuskan untuk mencintai, ia harusnya tak lagi berjanji, melainkan membuat rencana untuk memberi.
Ah bicara tentang cinta dalam konsepsi hubungan nampaknya jadi
hal biasa. Lalu bagaimana dengan cemburu? Suatu hal di jaman kita
sekarang yang dianggap ekstrim-fanatik, dan lain-lain? Cemburu bagiku
terdefinisi sebagai ketidaksenangan seseorang untuk disamai dengan orang
lain dalam hak-haknya, dan itu merupakan salah satu akibat dari buah
cinta. Maka tidak ada cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Dan
cemburu itu termasuk sifat yang baik menurutku, bagi laki-laki maupun
perempuan.
Adapun kecemburuan seorang laki-laki pada keluarga dan kehormatannya,
itu menjadi keharusan. Karena dengan adanya kecemburuan, akan menolak
adanya kemungkaran di keluarganya. Ambil lah contoh kecemburuan dia pada
istri dan anak-anaknya, yaitu dengan cara tidak rela kalau mereka
terbuka hijabnya di depan laki-laki yang bukan mahramnya, bercanda
bersama mereka, hingga seolah-olah laki-laki itu saudaranya atau
anak-anaknya.
Sesungguhnya Rasulullah Saw telah mensifati seorang laki-laki yang tidak
cemburu pada keluarganya dengan sifat-sifat yang jelek, yaitu ‘Dayyuuts’.
Sungguh ada dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabraani dari
Amar bin Yasir r.a, serta dari Al-Hakim, Ahmad dan Baihaqi dari
Abdullah bin Amr r.a, dari Nabi Saw bahwa ada tiga golongan yang tidak
akan masuk surga yaitu peminum khomr, pendurhaka orang tua dan dayyuts. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dayyuts,
yaitu orang yang membiarkan keluarganya dalam kekejian atau kerusakan,
dan keharaman. Begitulah sisi lain cemburu dalam konsepsi sebuah
hubungan.
Hal lain yang mendasari konsepsi hubungan, terutama bagi yang sudah menemukan pasangannya, ialah perkara komitmen. Berperasaanlah dengan komitmen, atau berkomitmenlah dengan perasaanmu.Komitmen adalah kunci pembuka pintu mimpi agar hadir menjadi kenyataan. Komitmen
adalah sesuatu yang akan membuat seseorang memikul resiko dan
konsekuensi dari keputusannya tanpa mengeluh, dan menjalaninya dengan
penuh rasa syukur sebagai bagian dari kehidupan yang terus berproses. Komitmen
yang membuat segalanya mengalir seperti kemauan kita, karena melalui
komitmen kita mampu mengendalikan semua hal menjadi lebih baik. Karena komitmen adalah totalitas sebuah perjuangan.
Sungguh terhormat setiap kita yang memegang teguh komitmennya, menjaga
kesetiannya. Senantiasa berhati-hati menjaga hatinya. Mata dan telinga
merupakan pintu, dan hati merupakan rumahnya. Untuk itu, senantiasa
kawal apa saja yang masuk melalui pintu agar rumah kita selamat, agar
hati kita selamat, bersetia pada hati. Ingat bahwa Allah mengetahui
(pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.
Untuk itu, jaga mata, jaga hati, jaga sikap. Ada yang bilang, katanya
suci perempuan karena menjaga diri, gagah laki - laki sebab menepati
janji. Itupun manifes dari komitmen, begitu pikirku.
Lalu bicara tentang konsepsi hubungan dalam konteks pernikahan, tentulah
erat kaitannya dengan bahasan menjadi orang tua. Bagiku, cara kita
mengajari anak-anak kita tentang keshalihan, bahkan jauh sebelum mereka
dilahirkan adalah dengan cara memilih ibu yang baik untuk mereka. Itu
titik tolaknya, itulah mengapa kemudian proses memilih pasangan menjadi
hal penting yang begitu diperhatikan, untuk kemudian sama-sama bertumbuh
menjadi orang tua paripurna, yang memberikan pendidikan bagi
anak-anaknya di madrasah yang tanpa libur dan tanpa jeda, di rumahnya.
Tempat di mana mereka belajar bukan hanya dari apa yang terucap, tapi
apa yang dilakukan oleh ayah bundanya. Orangtua adalah guru yang
sebenar-benarnya. Mereka digugu, ditaati karena integritas di hadapan
anak-anaknya. Dan ditiru, karena memang semua perilakunya membanggakan
untuk dijadikan identitas.
Aku masih ingat dulu tentang masyarakat yang punya tingkat saling
percaya amat tinggi di jaman Rasul tentang peran orang tua, terutama
ayah. Dulu kalau mau menikahi Hafshah, tak perlu berkenalan dengan
Hafshah. Lihatlah saja ’Umar, bapaknya. Nah, Hafshah kurang lebih ya
seperti bapaknya. Kalau mau menikah dengan ’Aisyah, tak perlu engkau
mengenal ’Aisyah. Coba perhatikan Abu Bakr. Nah, ’Aisyah tak beda jauh
dengannya. Maka dalam gelar pun mereka serupa; Abu Bakr dijuluki Ash
Shiddiq, dan ’Aisyah sering dipanggil Ash Shiddiqah binti Ash Shiddiq.
Begitupun aku, ingin rasanya seperti itu, bisa memberikan kebaikan pada
anak-anak ku dengan integritas kebaikan yang melekat pada ayahnya.
Itulah mengapa bagi setiap laki-laki, menjadi ayah yang baik menjadi hal
mutlak yang perlu diperjuangkan, peran nya begitu besar dalam
menjalankan tanggung jawab pendidikan anak-anak nya. Lalu bagaimana
dengan perempuan? Jangan sampai engaku lupa, dibalik suami yang hebat
terdapat wanita hebat yang senantiasa mendampinginya, ia adalah istri.
Dan dibalik anak yang hebat terdapat wanita hebat yang senantiasa
mendo’akanya, ia adalah ibu.
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda, “3 orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya” (HR. Thabrani)
ingin rasanya aku raih pertolongan Allah dengan menjadi ketiganya. Menikah, adalah keberanian menentukan sikap, bukan menunggu waktu hingga datang kedewasaan bersikap, menuju Mitsaqan Ghaliza, perjanjian yang kokoh yang dalam Al Qur'an kata mitsaqan ghaliza hanya dipakai 3 kali saja, yakni ketika Allah SWT membuat perjanjian dengan para Nabi, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (Al Ahzab 73:7), ketika Allah SWT mengangkat bukit Thur di atas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia pada Allah (An Nissa 4:154) dan ketika Allah SWT menyatakan hubungan pernikahan (An Nissa 4:21).
Kupilih dirimu, karena aku yakin engkau mampu menggenapi kekuranganku
menjadi kelebihan. Karena aku tahu, tak sempurna agamaku, kecuali engkau
menggenapinya. Kupilih dirimu, karena engkau memiliki satu sayap yang
bisa melengkapi sayapku yang hanya satu. Maka berdua kita mengepakkan
sepasang sayap menuju surga; impian kita bersama.
ketika kini pada akhirnya kita bertemu, yakinlah bahwa itu
bukan kebetulan. Sebab bagaimanapun, langkah kita akan saling tertuju,
langkahku ke arahmu, langkahmu ke arahku.
*tulisan yang juga menjadi kado, untuk yang sedang rindu, merencanakan, dan akan melangsungkan pernikahan. Celoteh kecil dari pribadi yang sedang belajar, untuk menasihati setidaknya dirinya sendiri.*
1 komentar:
panjang dan berbobot kak. :-)
mantap!
Posting Komentar