Hmm.. Pertanyaan itu muncul dari seorang rekan ketika saya sedang
melewatkan pagi hari dengan segelas kopi cokelat di tangan. Mau tak mau
saya ikut kepikiran juga, sih. Iya juga, yah. Ketika kita sedang mejalin
hubungan spesial dengan seseorang, let’s say hubungan asmara atau cinta-cintaan, seberapa jauh kita memiliki orang tersebut?
Dalam dunia ini, terutama dalam urusan yang menyangkut harta-harta
tak bergerak seperti tanah atau bangunan, kita tahu bahwa seorang
konsumen memiliki 2 hak atas harta-harta tersebut: hak milik dan hak guna.
Bila merunut ingatan saya mengenai UU No. 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak milik merupakan hak absolut
kepunyaan seseorang atas kepemilikannya terhadap suatu benda. Sedangkan
hak guna adalah hak yang dimiliki seseorang untuk mempergunakan sesuatu
yang bukan miliknya dalam jangka waktu tertentu. Kurang lebih sih kayak
gitu sepemahaman saya.
Kenapa saya jadi nyerempet undang-undang? Abaikan.
Menyangkut benda/harta-harta mungkin kita bisa pakai itu hak milik
dan hak guna. Tapi menyangkut seseorang, apa kita bisa benar-benar
mempergunakannya? Termasuk bila sudah menyatu dalam suatu ikatan yang
dilindungi hukum dan agama? Bisakah kita mengatakan bahwa dia
sebenar-benarnya milik kita?
Hak milik adalah suatu otoritas penuh milik si pemilik atas sesuatu
yang dimilikinya. Seseorang yang memiliki hak milik atas sehektar sawah,
misalnya, berhak melakukan apapun atas sawahnya. Mau ditanami padi,
palawija, hingga belukar, tak ada yang melarang. Mau dibiarkan,
ditelantarkan, tak terawat, juga tak ada yang protes. Mau menjualnya
pun, digadaikan dengan segenggam emas, tak ada yang bisa mencegah.
Sedangkan hak guna, yah seperti namanya, haknya cuma buat nggunain
aja. Nggak lebih. Hak guna sawah, ya dia hanya bisa menggunakan sawah
tersebut sejauh perjanjiannya dengan si empunya sawah. Kesepakatannya
untuk ditanami padi selama setahun, yaudah dia menggunakan sawah
tersebut untuk ditanami padi selama setahun itu. Not more than that.
Apakah terhadap seseorang kita bisa melakukannya juga? Apakah dengan
kita mengikat seseorang dalam suatu ikatan maka dia sepenuh-penuhnya
milik kita? Melakukan apa yang kita ingin untuk dia lakukan? Begitu
juga, bila kita menjalin hubungan asmara dengan seseorang yang
sebenarnya sudah “dimiliki” orang lain, apakah kita juga hanya bisa
menggunakan sebatas “hak guna” saja atasnya? Hanya untuk diajak jalan,
nonton, hang out, nongkrong, atau curhat?
Pagi itu saya tercenung… dan terdiam. Abjad seakan lumpuh dan area
Brocca saya sejenak seperti mengalami kelemahan untuk menyusun kata.
“Bila kau merasa tak pernah memiliki, kau takkan pernah merasa kehilangan”, hanya itu yang bisa saya katakan. Bukan sebuah jawaban memang.
Kenyataannya, perasaan memiliki sebenarnya bertaut erat dengan perasaan kehilangan. Atau setidaknya, perasaan takut kehilangan.
Dan sebenarnya, saya sendiripun sampai saat ini masih terus bergelut
untuk melepas rasa takut kehilangan terhadap apapun dan siapapun.
Membebaskan kegelisahan akan keposesifan yang berlebihan. Karena
sesungguhnya, kita sebagai seorang manusia tak pernah memiliki apapun.
Semuanya, masa lalu, masa sekarang, masa depan, tubuh sehat, karir
cemerlang, pasangan menawan, anak-anak membanggakan, semuanya adalah
milik Sang Maha Pemilik.
Kita, sebagai manusia, mungkin, adalah seorang konsumen yang
kaya-raya dengan hak guna dan paling pandai menggunakan hak kita
tersebut, tapi sering tak menyadarinya. Bukankan kita lahir telanjang?
Bahkan kulit yang membalut tubuh kita pun sesungguhnya bukan milik kita.
Jadi, kenapa mesti harus takut kehilangan ketika sejatinya kita tidak memiliki apapun?
Hidup itu memang harus seimbang. Meskipun saya seringkali bertanya, in this case, apakah dengan mempunyai rasa memiliki dan rasa takut kehilangan dalam satu waktu itu mencipta suatu kesetimbangan?
Atau sebaiknya tak usah mencoba merasai apapun? Baik rasa memiliki
atau rasa kehilangan? Bukan berarti tak berharap dan berdoa, namun
mencoba untuk melepaskan diri dari keterikatan akan rasa “memiliki” yang
melebihi porsi yang seharusnya. Karena rasa kehilangan itu, sungguhlah
teramat sakit ketika dirasakan.
I’m surrender everything to You. Segalanya. Jika segalanya
itu memang ditakdirkan untuk Kau pinjamkan kepadaku dalam jangka waktu
tertentu sebelum kembali kepada-Mu lagi, maka ia akan datang kepadaku.
Dengan segala upaya yang mungkin tak terbayangkan.
Ini kenapa postingannya jadi serius begini -________-
“How far do we really own a person?” Entahlah.
Karena saya tak tahu. Karena saya paham kita sebagai manusia sejatinya
tidak memiliki apapun dan siapapun. Tapi saya ingin mengikatmu, menyemai
cita dan kebersamaan bersamamu, dalam jangka waktu yang Dia tetapkan.
Semoga Dia, Sang Maha Pemilik dan Sang Maha Kaya, meminjamkan kamu hanya untuk saya saja. Hanya untuk saya saja. Dalam tempo yang cukup lama…
0 komentar:
Posting Komentar