Hatinya pernah mendua. Bukan sekali, bahkan hingga beberapa kali. Lantas saya? Satu saja sudah kepayahan, apalagi untuk dua.
Hatinya pernah mengkhianati. Bukan sekali, bahkan hingga
berkali-kali. Lantas saya? Membangun percaya itu mudah, tapi sekali
dirobohkan maka sulit dibangun lagi.
Hatinya pernah pergi. Bukan sekali, bahkan lebih dari dua kali.
Lantas saya? Mau kemana? Tujuan saya hanya hatinya, bukan tempat lain.
Hatinya pernah mencinta yang lain. Bukan sekali, bahkan mungkin
berkali-kali. Lantas saya? Hati saya sudah sangat cukup dengan hanya
satu cinta saja, tak perlu menambah lagi.
Hatinya pernah berpaling. Bukan sekali, bahkan hingga beberapa kali.
Lantas saya? Terlalu sibuk melihat hatinya, tak sempat melihat hati yang
lain.
Tapi, hatinya selalu pulang, bahkan setelah banyak hati ia kunjungi.
Saya tanya mengapa? Jawabnya, “karena cuma kamu yang paling setia menantiku pulang”.
Saya tanya mengapa? Jawabnya, “karena cuma kamu yang paling setia menantiku pulang”.
Kepada semua hati yang pernah ia sambangi, tak pernah saya taburi
benci. Mereka sama seperti saya. Wanita mana yang mampu menyakiti wanita
lain? Mungkin ada, tapi saya tidak.
Hingga pada suatu waktu, saat ia pulang, ia tersenyum. Saya tanya
kembali, mengapa tersenyum? Jawabnya, “tak pernah kutemukan hati setabah hatimu..”
kembali, mengapa tersenyum? Jawabnya, “tak pernah kutemukan hati setabah hatimu..”
Saya?
Tidak setabah itu. Menangis jika memang harus menangis. Marah jika
memang harus marah. Berteriak jika memang dada sudah tak mampu menahan
sesak. Namun, tanpa sepengetahuan siapapun. Hanya saya dan Dia, tidak
dia.
Setidaknya dalam diam saya temukan obat paling baik meredakan
kepenatan hati. Sebab, penjagaan terbaik yang mampu saya lakukan untuk
dia yang saya cinta hanya bisa saya berikan lewat doa. Saya
percaya, doa mampu menjaganya, menuntunnya pulang menuju hati yang tepat, dengan selamat, walaupun tanpa genggaman, tanpa suara.
percaya, doa mampu menjaganya, menuntunnya pulang menuju hati yang tepat, dengan selamat, walaupun tanpa genggaman, tanpa suara.
Entah padaku,
atau pada yang lain.
atau pada yang lain.
Karena yang baik menurutku, belum tentu begitu pula menurut Tuhan,
bukan?
bukan?
2 komentar:
nice kak :)
menyentuh...
Posting Komentar