Layakkah Aku Meminangmu akhi?
Perempuan sepertiku tak banyak.
Jangan tertipu oleh angka statistic
yang mengatakan, perbandingan lelaki dan perempuan melebihi 1 : 4. Ada
banyak kaum hawa di luar sana, tetapi percayalah, yang sepertiku hanya terbatas
jumlahnya. Kalau kau bertanya-tanya, seperti apakah aku hingga sedemikian
yakinnya, silakan renungkan.
Aku dan Dirimu
Antara aku dan dirimu dibatasi oleh rasa malu dan cinta.
Aku mencintai Robb ku melebihi segalanya, setingkat di bawahnya adalah lelaki
paling mulia bernama Muhammad ibn Abdillah Saw. Setingkat di bawahnya adalah
para shahabat, para salafus sholih. Setingkat di bawahnya lagi adalah para
ulama dan ustadz di zaman ini yang selalu menyiangi taman hatiku dengan nasihat
mereka. Layer terbawahnya adalah
dirimu.
Jangan khawatir, aku selalu menyisihkan waktu untuk mendoakanmu menjadi
pemimpin sejati, meski porsimu hanya kecil di hatiku.
Cintaku padamu, meski tak mutlak, tetap utuh dan sempurna. Sebab ia
disempurnakan oleh rasa malu. Malu pada Robb ku jika aku masih meminta sesuatu
pada sesuatu selain dariNya. Malu pada Nabiku yang dalam pikirannya hanya
terpikir ummat, ummat, ummat; tak tersedia secuil hasrat cinta picisan yang
mungkin, sesekali masih menghampiri makhluk sepertiku.
Aku dan Ilmu
Untuk lebih memahami dunia dengan segala permasalahannya, kapal besar yang akan
membawa kita menuju negeri abadi, aku membutuhkan ilmu pengetahuan. Karenanya
jangan heran, bila sebagian besar waktuku selain terisi oleh ibadah mahdhoh dan nawafil;
kupergunakan untuk menimba ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang berada di
majelis para sholihin atau di bangku akademis.
Jika, kemudian aku tak menemukanmu, pada akhirnya ilmu pengetahuan kukejar demi
mempersiapkan sumbangsihku yang lebih besar bagi umat. Jangan salah berpikir
mengapa aku sibuk mengejar ilmu, strata satu, dua, tiga hingga ke negeri seberang.
Sebab aku tak mau terlalu resah, sibuk memikirkanmu. Waktuku terlalu berharga
untuk menangisimu. Ummat masih menanti muslimah sepertiku, berkiprah
menyelesaikan masalah-masalah yang semakin berkembang dan kompleks dari waktu
ke waktu.
Aku dan Dakwah
Aku masih belum selevel bunda Aisyah ra yang menghafal ribuan hadits.
Belum selevel Jahanara, putri Shah Jahan yang menelusuri jalan tasawuf
usai bertikai dengan Aurangzeb, penguasa dinasti Mughal. Belum setara dengan
Tawakkul Karman, peraih nobel perdamaian. Belum setara dengan Zaynab Al Ghazali
atau Lathifah as Shuli, perempuan terhormat dalam pergerakan di Mesir.
Tapi benakku dipenuhi bagaimana mengentaskan muslimah agar lebih
memahami Islam secara utuh, bagaimana mengentaskan ibu-ibu dari keterpurukan
ekonomi, bagaimana agar anak dan remaja tidak tumbuh di jalanan. Bagaimana agar
kita punya kontribusi pada kehidupan bangsa dan negara.
Dirimu, berada pada layer terakhir di benakku. Tentu, terselip
keinginan untuk meraih tanganmu, bersama menapaki jalan yang penuh onak duri
tetapi juga dipenuhi harapan dan kesempatan luas terbentang.
Aku dan Waktu
Aku tahu, hidup dibatasi waktu.
Setiap tahapan usia memiliki tugasnya masing-masing.
Tapi aku tak mau dibatasi oleh budaya yang mengatakan bahwa usia lah yang
memastikan perempuan harus memasuki usia pernikahan. Tak ada yang mampu
memaksakan usia. Siapa dapat memastikan aku memilikimu di usia 20, 23, 25, 30
atau 38 bahkan 40 nanti?
Aku tak memusuhi waktu, sebab, ia adalah salah satu sumpah Tuhan dalam al Ashr.
Aku, bersahabat dengan waktu. Tak akan kuhitung tahun, bulan, pekan, hari
apalagi detik hanya untuk memuja namamu dan menantimu mengetuk pintu rumah
orangtuaku.
Kau ada di sini, dalam hatiku, tetapi kusimpan rapi dan kulipat baik-baik
dengan lapisan cinta dan malu. Aku tak akan memaksakan waktuku padamu, padaku,
atau pada siapapun sebab setiap kejadian memiliki dimensinya sendiri-sendiri.
Waktu yang
kumiliki akan kuisi dengan sebaik-baik bekal, bagai backpacker yang
mempersiapkan isi ranselnya dengan perkakas yang penting dan tepat. Lebih baik
kuiisi waktu dengan menghafal Quran, membaca buku-buku, mengkaji ulang catatan
pengajianku , berburu ladang dakwah baru, berbakti pada orangtuau, mengasuh
adik-adikku dan bersilaturrahmi dengan karib kerabat; dan tentu saja, mengisi
dahaga akan ilmu.
I am and Somewhere Out There
Aku, tak sama dengan perempuan yang kau temui di jalan-jalan. Yang menghabiskan
waktu di depan cermin dengan mematut diri, berhitung, klinik kecantikan mana
lagi yang bisa dikunjungi. Aku, tak sama dengan perempuan yang sibuk berhitung,
kelak suamiku berpenghasilan berapa sehingga mengajakku keliling Eropa?
Aku tak ada di cafe, when night is still young.
Aku tak ada di mall ketika di akhir pekan, berburu tas Hermes dan
sepatu atau discount baju.
Aku tak selalu ada di dunia maya, memandangi wajah kharismatikmu di foto
profil , yang sering melempar nasehat berharga dan banyak gadis terhenyak
dibuatnya.
Kalau kau mau mencariku, jasadku berada di belantara ladang-ladang dakwah. Di
masjid, di perpustakaan, di kampus, atau menghabiskan waktu bersama teman-teman
kampus; bersama kaum perempuan dan anak-anak, berbagi ilmu. Kalau kau
mencariku, ruhku berada di outer space, ketika sepertiga malam.
Mungkin kau bisa menemuiku di sana, saat kita tengah bermunajat bersama – meski
tempat berbeda.
Ketika gelombang elektromagentik cinta kita beradu dalam aura makrokosmos yang
sama.
Aku, berbeda dengan perempuan yang biasa kau temui.
Maharku mungkin murah.
Tetapi nilaiku, tak setara dengan emas yang kau bayarkan, insyaAllah.
Jadi, kuharap kau mengerti.
Kalau aku tak akan berkeliaran mencarimu, mengejar-ngejarmu.
Semakin lama kau menunda waktu, memperpanjang list yang kau gunakan untuk
meminang bidadarimu : yang cantik, yang mapan, berkarir, lulus dengan
pendidikan strata tertentu, dari kalangan terhormat.
Aku, biasa-biasa saja. Kecantikan istimewaku pada busana rapi dan kerudung yang
kukenakan; pada lisan yang kuusahakan bertutur dengan isi yang bernas.
Kedua orangtuaku hanya orang biasa, dan aku adalah tonggak keluarga. Aku
mungkin tak akan membuat heartbeat mu berdetak ribuan kali
lebih cepat.
Aku, mungkin hanya menawarkan sedikit. Untuk menghidupkan malammu. Untuk
menjaga kehormatan, dunia dan akhiratmu. Pemikiran dan senyumku, semoga kelak
bisa menaungi hatimu yang resah dan kelelahan. Jika, kau masih memimpikan
daftar penantian akan bidadarimu, silakan. Mungkin namaku tak masuk disitu.
Meski waktu bersanding kegelisahan
dan lelah; semakin aku tangguh dan kuat dalam penantian serta munajat
kepadaNya.
Aku yakin, Ia akan memilihkan
seseorang yang tepat dan baik untukku, mungkin itu bukan dirimu. Aku justru
mengkhawatirkan dirimu, yang terlalu lama menunda dan menanti, membuat daftar yang
semakin panjang; maka kau tak akan mendapatkan perempuan sepertiku. Sebab
semakin lama, bukan diin atau dakwah yang menjadi pertimbanganmu. Dunia dan
kecantikan, yang kau sebut-sebut diperbolehkan oleh baginda Rasul Saw,
membuatmu semakin pemilih.
Aku punya sebuah kisah yang mungkin
layak disimak utntuk pemuda sepertimu.
**************
Ahmad bin Aiman, sekretaris Ibn
Thulun datang ke Bashrah. Ia disambut oleh Muslim bin Umran, saudagar terkaya .
Muslim bin Umran, bukan hanya kayaraya tetapi juga tampan dan kharismatik.
Dalam jamuan makan kebesaran, datanglah kedua anak Muslim bin Umran.
Mereka berdua sangat sopan santun, ingin berbicara dengan ayahnya dan menunggu
kesempatan sang ayah datang. Ketampanan kedua anak itu mencengangkan para tamu,
bukan itu saja, sikap yang sangat serasi antara akhlaq, pakaian dan rupanya
membuat para tamu berbisik.
“Subhanallah,” decak Ibn Aiman. “Ibu
anak ini pasti melebihi bidadari kecantikannya!”
Muslim bin Umran hanya tersenyum
mendengar pujian para tamu dan berkata,” aku hanya ingin mengharapkan anda
memintakan perlindungan Allah untuk mereka.”
Seluruh tamu penasaran dengaa
kehidupan pribadi Muslim bin Umran, apalagi dengan kebahagiaan yang terlimpah
demikian sempurna. Mereka memuji, megatakan kepandaian Ibn Umran memilih
istri yagn tentunya cantik jelita dan dari keluarga terpandang. tentu hal yang
masuk akal bila Ibn Umran yag kaya da tampan mengambil gadis bangsawan. Siapa
yang dapat menolak nya?
Maka Muslim bin Umran berkisah
mengenai masa mudanya.
Ia adalah pemuda petualang, suka
berkelana, menimba ilmu. Hingga suatu hari tibalah di Balakh, ibukota Khurasan.
Seorang Imam sholih bernama Abu Abdullah al Balakhi tengah membicarakan sebuah
hadits dalam majelis,
“….seorang wanita yang hitam lebih
baik dari wanita cantik yang mandul.”
Muslim bin Umran , yang muda dan
penuh gairah, merasa belum pernah mendengar hadits tersebut. Apalagi penjelasan
al Balakhi demikian mengesankan. Al Balakhi mengatakan bahwa, bahasa Arab
sangat tinggi muatan sastranya. Rasulullah Saw senantiasa menghindarkan
kata-kata celaan yang menyakitkan.
Al Balakhi mengatakan, bahwa makna
“hitam” adalah salah satu istilah tersendiri, bukan makna hitam sesungguhnya.
Hitam yang dimaksud adalah apa yang dibenci kaum lelaki dari wanita dalam hal
bentuk dan rupa; menunjukan wanita yang tubuh dan auratnya tidak memenuhi
selera. Ini dipakai Rasulullah Saw untuk mengangkat derajat & harkat
wanita.
Al Balakhi melanjutkan, seorang
perempuan yang cacat dan tidak cantik di mata orang lain, akan tampak menarik
di mata anak-anaknya; bahkan lebih cantik dari ratu singgasana. Itulah
penglihatan batin yang merasuk ke kedalaman makna. Jika menukik ke kedalaman
jiwa, akan tampak kecantikan & keindahannya. Kehormatan perempuan terletak
pada fitrah keibuannya. Meski perempuan itu jelek rupanya, jika ia memiliki
fitrah keibuan maka ia jauh lebih cantik dari perempuan yang idnah raut
wajahnya tetapi tidak menunjukkan fitrah sejatinya.
Hati dan akal harus diutamakan sebab
mereka adalah dua pertiganya, bukan justru sepertiga yang
harusdiutamakan.
Sembari menceritakan ulang ksiah
perjalanan masa mudanya bertemu Al Balakhi, Muslim bin Umran menambahkan ayat,”…sekiranya
engkau membenci sesuatu sedang di sana Allah SWT memberikan banyak kelebihan
dan kebaikan
padanya…
Ibn Aiman melompat gembira.
“Ini adalah kata-kata malaikat yang
kudengar dari lisanmu kawan, ya Umran!”
“Apalagi jika kau dengar sendiri
dari Abdullah Al Balakhi,” jawab Muslim. “Dialah yang membuatku suka pada yang
jelek, cacat dan hitam. Setelah aku melihat diriku secara jujur , aku
menginginkan istri yang berinsan kamil, berakhlaq mulia. Aku tak peduli apakah
ia cantik, manis ataupun jelek dan buruk rupa. Jika kewanitaan yang dicari itu
ada pada setiap wanita, tetapi untuk akal belum tentu ada pada setiap wanita.”
Maka kemudian, Muslim bin Umran
meminang seorang gadis.
Siapa oraagntua si gadis, tidak
terlalu disebut. Sebut saja namanya syaikh Ahmad. Syaikh Ahmad menolak puluhan
pelamar, menjaga putrinya dengan ketat dan menerima Muslim bin Umran. Ketika
malam pertama Muslim melihat sang perempuan, seketika teringatlah ucapan Al
Balakhi.
Di hadapannya berdiri seorang yang
jelek dan cacat.
Tetapi gadis itu, dengan rendah hati
memegang tangannya,
“Tuanku, akulah rahasia yang dijaga
ayahku demikian ketat. Ia menerimamu sebab percaya padamu. “
Gadis itu mengambil kotak perhiasan.
“Ini adalah hartaku. Allah SWT
menghalalkan Tuan mengambil istri lagi. Pakaialah harta ini jika Tuan
mengiginkan kecantikan.”
Muslim bin Umran, demikian teringat
akan nasehat Al Balakhi. Dengan lemah lembut ia berkata,
”Demi Allah, percayalah….kau akan
kujadikan sebagian dari duniaku, dari segi apa yang yang dibutuhka pria dari
wanita. Aku hanya akan menempatkan kau sebagai satu-satunya dalam hatiku.
Kaulah wanita satu-satunya, akan akan menutup rapat mataku untuk wanita lain
dan tak akan berpaling.”
Gadis itu, ternyata seorang yang
cerdas dan baik hati. Semakin lama terlihat segar dan menyenangkan. Perlahan
menghilang kejelekannya, yang tampak hanyalah akal dan kecerdasannya. Ia
menjadi istri kesayangan saudagar terkaya Bashra, Muslim bin Umran.
Para tamu di jamuan itu ternganga,
terhenyak. tak menyangka seseorang seperti Muslim bin Umran memiliki istri yang
jauh dari perkiraan mereka! Mereka merasa sangat malu di hadapan Muslim bin
Umran yang memiliki keluhuran budi tak terduga
Ibn Aiman terharu.
Muslim memandangnya tersenyum,
”..lihatlah kedua anakku yang elok,
Saudaraku. Kurnia Allah , mukjizat keimanan…..”
*************
#entah siapa yang akan ku pinang dengan surat ini..:)